Thursday 19 February 2009

Suara-Suara "Israel" di Indonesia

Pembantaian Israel di Gaza membuat banyak orang berpendapat. Bahkan ada pula "suara Israel" di Indonesia

Hidayatullah.com—Meski umumnya kaum Muslim –bahkan seluruh agama--di dunia mengecam tindakan pembantaian kemanusiaan Zionis-Israel, tapi tak sedikit orang (bahkan kaum Muslim sendiri) yang perpendapat seolah "mewakili" suara Israel.

Redaksi www.hidayatullah.com mengumpulkan beberapa pernyataan tertulis dan pendapat beberapa tokoh yang dikumpulkan dari berbabai sumber. InsyaAllah tidak ditambah atau di kurangi sedikitpun: Di bawah ini beberapa kalangan yang pendapatnya seolah-olah "mewakili" Israel;

Ulil Abshar Abdalah: (pegiat Jaringan Islam Liberal) ulil

"Sejumlah Pertanyaan Sederhana" (Diambil dari posting milis Islamliberal)

"Salam, Ini pertanyaan sederhana dan mohon jangan diartikan sebagai pembenaran atas agresi Israel terhadap Gaza. Saya tetaplah anti agresi itu, dan simpati saya selalu berpihak pada bangsa Palestina.

Tetapi ada manfaatnya jika kita menempatkan sesuatu dalam perspektif historis yang lebih luas sehingga kita lebih "dewasa".

Pertanyaan-pertanyaan berikut ini mengganggu saya sejak lama. Saya tak berpretensi bisa menjawabnya dengan tuntas dan tepat.

Menurut saya protes umat Islam terhadap negara Israel bukan sekedar karena negara itu mencaplok wilayah Palestina. Menurut saya, naïf sekali jika kita membaca konflik Palestina-Israel ini sekedar sebagai masalah nasionalisme, pencaplokan wilayah secara tak sah, dsb.

Kalau umat Islam keberatan suatu negara mencaplok wilayah negara lain, kenapa dulu waktu Irak melakukan agresi terhadap Kuwait, simpati umat Islam justru lebih banyak berpihak pada Saddam Husain? Jika umat Islam keberatan pada urusan pencaplokan wilayah, kenapa dulu umat Islam di Indonesia tidak keberatan negara Indonesia meng-invasi Timor Timur?

Kenapa umat Islam tidak protes sedikitpan pada perlakuan China atas Tibet belakangan ini?

Tetapi pertanyaan mendasar yang jauh lebih penting buat saya adalah fakta berikut ini. Sejarah Islam sejak awal, kalau kita mau jujur, adalah sejarah ekspansi wilayah dengan cara pencaplokan. Islam lahir di Hijaz lalu melakukan ekspansi dan pencaplokan wilayah keluar sehingga mencakup wilayah yang sangat luas sekali. Dalam sejarah dunia tidak ada agama yang berkembang dengan cara seperti ini kecuali Islam dan Kristen.

Ekspansi dan pencaplokan wilayah memang banyak terjadi dalam sejarah masa lalu. Tetapi ekspansi dan penaklukan wilayah yang dilakukan atas nama agama dan berlangsung secara kontinyu dalam waktu yang sangat lama hanya terjadi pada kasus Islam dan Kristen, dua agama yang sejak awal memiliki watak imperial, misionaris, dan ekspansif.

Kalau kita sebagai umat Islam mau jujur, kita harus mengakui bahwa seluruh wilayah yang sekarang dihuni oleh umat Islam, terutama di kawasan Arab, sekitar Laut Tengah, daerah Balkan, dan anak benua India-Pakistan adalah wilayah taklukan Islam. Dengan kata lain, wilayah yang dulu diperoleh karena proses pencaplokan melalui aksi militer. Memang ada dakwah damai melalui para ulama, kaum sufi, pedagang dan sebagainya. Tetapi misi dakwah berlangsung tidak secara independen. Ada aksi militer yang mendahului atau mengikutinya.

Sementara itu, agama Yahudi adalah agama yang kontras sama sekali dengan Islam, meskipun dari aspek orientasi ketaatan pada hukum ada kesamaan antara keduanya. Jika Islam adalah agama misionaris, imperial dan ekspansif, agama Yahudi kebalikan dari itu semua. Agama Yahudi tidak pernah berambisi untuk mendakwahkan agama itu di luar bangsa Yahudi sendiri dan ingin "menyelamatkan domba-domba sesat" seperti dalam Kristen.

Bangsa dan agama Yahudi juga tidak pernah berambisi melakukan ekspansi wilayah. Ide keyahudian terikat pada wilayah kecil sebagai fondasi agama itu, yaitu Yerusalem dan kawasan di sekitarnya yang sama sekali tidak siginifikan dibandingkan dengan luasnya wilayah yang pernah dicaplok oleh umat Islam di zaman lampau.

Ini yang menjelaskan kenapa bangsa dan umat Yahudi hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta hingga saat ini. Bandingkan dengan jumlah umat Islam yang mencapai sekitar 1,2 milyar di seluruh bumi. I (Catatan: ini belum ditambah bangsa jin yang konon menurut umat Islam juga ada yang beragama Islam). Watak Islam sebagai agama yang misionaris, imperial dan ekspansif tercermin dalam luasnya wilayah yang dihuni umat Islam saat ini, serta keragaman etnik dan bangsa yang memeluk agama itu. Ini juga terjadi pada agama Kristen.

Buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam sudah tentu tidak mau mengakui fakta seperti ini. Sejarah ekspansi dan penaklukan Islam disebut sebagai "futuhat" atau pembukaan. Ini jelas semacam eufemisme. Seolah-olah wilayah yang dihuni oleh bangsa –bangsa non-Islam sebelum Islam datang itu adalah wilayah gelap. Ekspansi Islam dibaca sebagai pembukaan wilayah itu terhadap "sinar" kebenaran Islam. Cara membaca sejarah semacam ini persis dengan justifikasi imperialisme Eropa barat di masa lampau sebagai proses "sivilisasi". Tak ada bedanya sama sekali.

Ini juga tak beda dengan justifikasi agresi Amerika ke Irak saat ini sebagai cara untuk menyebarkan demokrasi di Timur Tengah. Kita tahu, semua agresor di manapun selalu memakai "senjata simbolik" untuk membenarkan agresi mereka, entah melalui agama, filsafat, tradisi, atau memori tertentu.

Yang mengganggu saya adalah umat Islam saat ini protes dengan begitu gigihnya terhadap pencaplokan Israel atas tanah Palestina, tetapi tidak pernah sedikitpun terganggu dengan masa lampau mereka yang penuh dengan agresi dan aksi pencaplokan pula. Apa yang diambil Israel saat ini dari tanah Palestina tak ada apa-apanya dibanding dengan luasnya wilayah yang ditaklukkan oleh umat Islam di masa lampau.

Sama dengan Presiden Bush yang beberapa waktu lalu protes terhadap kebijakan pemerintah China di Tibet, tanpa sadar bahwa apa yang dilakukan oleh China di Tibet juga diakukan oleh Amerika di Irak saat ini. Apakah Presiden Bush tidak malu dengan "double-speak" seperti itu?

Pertanyaan ini sengaja saya angkat supaya kita bisa menempatkan konflik Palestina-Israel saat ini dengan lebih seimbang. Saya hingga sekarang masih percaya bahwa masalah Israel di mata umat Islam bukan sekedar masalah geografi dan perluasan wilayah. Masalah sebenarnya ada di luar itu, yakni konstruksi keyahudian di benak umat Islam sendiri yang dibentuk melalui ajaran agama dan tafsirnya yang sudah berkembang sejak berabad-abad. Menurut saya, "sedimentasi simbolik" semacam itu (kalau boleh memakai istilah yang mungkin agak kurang jelas artinya ini) ikut memperumit penyelesaian masalah Israel hingga sekarang. Hal serupa juga terjadi pada pihak bangsa Yahudi sendiri.

Anda bisa membayangkan bagaimana psikologi sebuah bangsa yang jumlahnya tak lebih dari 15 juta orang berhadapan dengan sebuah umat yang jumlahnya tak kurang dari 1,2 milyar, sementara umat yang "gigantik" itu dibentuk oleh sebuah ajaran yang kalau tidak benci minimal kurang bersahabat dengan bangsa dan agama Yahudi.

Tulisan ini sengaja saya kemukakan sebagai otokritik pada umat Islam. Dengan mengatakan ini semua, saya tak menolak bahwa komplikasi masalah Palestina-Israel ini juga ada dan disebabkan oleh pihak-pihak lain, antara lain dukungan Amerika yang nyaris tidak kritis pada Israel. Di mata pemerintah Amerika, Israel seperti "can do no wrong". Para Zionis, termasuk Kristen-Zionis, di Amerika juga ikut terlibat dalam memperumit masalah Palestina ini. Ketidakberdayaan PBB dalam mengatasi sikap pemerintah Israel yang selama ini selalu melanggar sejumlah resolusi lembaga itu berkenaan dengan masalah Palestina, juga masalah tersendiri.

Masalah-masalah "eksternal" itu sudah sering dikemukakan oleh para analis, termasuk juga oleh umat Islam sendiri. Tetapi yang mempersoalkan "masalah internal" dalam umat Islam sendiri nyaris jarang sekali. Memang paling enak jika kita melempar masalah keluar ketimbang mengorek kelemahan dalam diri kita sendiri. [Ulil Abshar Abdalla]

Selain sikap tertulisnya disampaikan di milis Islamliberal, ada pula postingan lain yang bersumber dari pemikiran lain Ulil Abshar dari Facebook nya yang telah dimuat di milis AJI dan Jurnalisme, tertanggal 7 Januari 2009, jam 12:01 AM.

Karena sangat panjang, redaksi hanya menyingkat hal-hal penting dalam tulisan yang berjudul; "Tentang bangsa Yahudi dan konflik Palestina-Israel". Untuk mengatasi masalah konflik Palestina, kata Ulil Abshar dalam tulisan ini, salah satu yang bisa dilakukan adalah melakukan reinterpretasi terhadap Al-Quran dan Hadist.

"Saya kadang-kadang berpikir, jangan-jangan konflik Palestina-Israel tidak akan selesai "ila yaum al-qiyamah", sampai hari kiamat. Satu-satunya harapan adalah jika kedua belah pihak lelah dan bosan perang, lalu dengan "sadar" meletakkan senjata dan saling jabat tangan. Tetapi titik-lelah itu belum kelihatan hingga sekarang. Kita harus siap untuk melihat jatuhnya korban terus-menerus di waktu-waktu mendatang. Sudah berkali-kali usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dilakukan oleh komunitas internasional, tetapi gagal terus."

….

"Tetapi, kebencian pada Yahudi sebagai sebuah agama tetap bertahan secara endemik dalam Islam. Bangsa Yahudi digambarkan sangat negatif dalam beberapa ayat di Quran, dan kemudian disokong pula dengan sejumlah hadis. Contoh kecil saja: sebuah hadis terkenal menyebutkan bahwa pada akhir zaman nanti Nabi Isa (atau Yesus) akan turun kembali ke bumi (persis dengan keyakinan dalam Kristen). Menurut hadis itu, tugas Nabi Isa pada saat itu, antara lain, adalah untuk menghancurkan salib dan membunuhi orang-orang Yahudi."

"Baik agama Kristen atau Islam mengandung unsur-unsur ajaran yang bisa membiakkan kebencian pada bangsa Yahudi. Ini bukan kebencian biasa, tetapi kebencian yang dijustifikasi oleh firman dan ajaran Tuhan sehingga pengaruhnya sangat mendalami. Tak heran sekali jika kebencian pada agama dan bangsa Yahudi bertahan selama berabad-abad. Kalau kita baca sejarah, tidak ada bangsa yang mengalami korban sebagai sasaran kebencian selama dan seserius seperti dialami oleh bangsa Yahudi. Yang mengherankan, jumlah mereka sangat kecil sekali, tetapi kebencian pada mereka sungguh tak sebanding dengan jumlah itu. Atau justru karena mereka kecil lah dengan mudah menjadi "kambing hitam" di mana-mana. Persis seperti dialami oleh kaum minoritas di manapun yang cenderung dijadikan sasaran demonisasi dan pengambing-hitaman."

…….

"Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini, jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan rasa yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi.

Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam psyche bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang menjelaskan kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink yang sangat kuat untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink itu bekerja secara berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab bangsa Yahudi mempunyai memori yang sangat buruk mengenai masa lalu mereka. Jika mereka kehilangan negara Israel yang sudah berhasil mereka dirikan dengan susah payah itu, mereka khawatir akan kembali kepada "zaman kegelapan" yang berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya."

….

"Tetapi justru di sini letak kelemahan bangsa Yahudi di Israel dan di manapun saat ini. Karena terlalu dihantui oleh masa lampau yang pahit, reaksi mereka terhadap ancaman saat ini terlalu berlebihan. Yang menjadi korban adalah bangsa Palestina. Sebagai sebuah negara, Israel, negara Yahudi itu, saat ini sudah cukup kuat dan sangat makmur. Memang kita bisa paham kenapa Israel selalu merasa tidak was-was dan tidak aman selama ini, sebab ia dikepung oleh tetangga-tetangga yang sangat membenci keberadaannya."

….

"Menurut saya, harus ada reinterpretasi ulang atas sejumlah ayat dan hadis yang membenci bangsa Yahudi dan selama ini diajarkan di lembaga-lembaga Islam. Jika tidak, maka selamanya akan terjadi kebencian dan permusuhan antara umat Islam dan bangsa Yahudi. Saya tak percaya bahwa umat Islam akan berhenti membenci bangsa Yahudi seandainya pun yang terakhir itu, misalnya, dengan sukarela membubarkan negara Israel lalu pergi dari tanah Palestina. Menurut saya, masalahnya lebih serius dari sekedar masalah "tanah". Yang bermasalah adalah doktrin dalam agama itu sendiri.

Apa yang saya tulis ini jelas tak populer di kalangan Islam saat ini. Boleh jadi, tulisan ini dianggap sebagai bagian dari konspirasi Yahudi pula. Silahkan saja. Dengan terus terang saya katakan, saya bukan "fan" atau pendukung ringan, apalagi berat, negara Israel. Saya benci dan jengkel pada tindakan dan kebijakan pemerintah Israel selama ini terhadap bangsa Palestina. Tetapi kita juga harus jujur melakukan otokritik pada diri kita sendiri. Ada sikap-sikap yang salah dan tak tepat juga di kalangan umat Islam terhadap bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu. Sikap-sikap yang berdasarkan pada doktrin agama itu harus dikritik jika umat Islam memang benar-benar ingin menegakkan perdamaian di bumi Palestina."

Pendeta Hans Jefferson:

"Secara batin, umat Kristen di seluruh dunia pasti berdoa buat Israel." Ujarnya dalam petikan wawancaranya dengan Radio Nederland Wereldomroep (RNW)

[ sumber:www.hidayatullah.com]

No comments: