Tuesday 9 November 2010

Inilah aku, ya Rasulullah...

Assalamu’alaikum ya Rasulullah…
Perkenalkan. Aku adalah salah satu umatmu. Hanya satu titik debu dari sekian banyak umat yang begitu mencintaimu. Kalau ada yang bertanya, cintakah aku padamu? maka dengan cepat akan kujawab,
“Tentu! Aku mencintaimu ya Rasulullah!” Jawaban yang sama seperti jawaban setiap jiwa yang mengaku sebagai umatmu. Tapi ketika pertanyaan berikutnya terlontar dari dinding hatiku,
“Mana bukti cintamu???!” Aku kelu. Kaku oleh pikiranku sendiri. Bukti? Ya Rasulullah… apakah maksud pertanyaan itu adalah sejauh mana aku menjalani sunah-sunahmu? Menjaga amal ibadahku sesuai tuntunanmu? Membiasakan inderaku untuk terus berakrab-akrab ria dengan sirahmu juga shalawat cinta untukmu?


Semoga Allah mengampuniku ya Rasulullah… Sampai detik ini, aku masih saja merangkak pelan seperti kura-kura untuk membuktikan semua itu. Terlalu sering berbelok arah, lantas sekuat tenaga berusaha lurus lagi, belok lagi, lurus lagi, begitu seterusnya. Seringkali aku tertegun, terpana, merasa malu, dan pilu jika melihat salah satu umatmu secepat kilat, meluncur seperti pesawat, dan berlari seumpama kuda, berlomba-lomba mencintai Allah lewat lintasan sunnahmu. Aku bercermin pada diriku sendiri yang sampai detik ini masih saja merangkak pelan. Satu-satu menghitung langkah yang kian tertatih. Terasa berat oleh beban yang sebagian besar berasal dari diriku sendiri. Kutengok cinta dalam genggaman hatiku, cinta yang ingin kupersembahkan pada Allah dan dirimu. Semoga Allah mengampuni betapa kerdilnya cinta yang kubawa ini, betapa compang-campingnya cintaku ini.

Sepanjang lintasanmu ya Rasulullah…. Lintasan yang telah, sedang, juga akan dilalui oleh seluruh umatmu hingga akhir zaman. Maafkan aku yang seringkali tergoda. Menengok sana-sini. Hingga tak jarang, gang terlarang kumasuki dengan langkah ringan. Betapa Allah dengan segala sifat terbaikNya, tak kenal lelah memberi peringatan. Atas izinNya, selalu kutemukan dirimu disetiap gang itu. Menuntunku untuk kembali ke lintasanmu. Kurasakan, kau datang dengan kata-kata yang teramat menyejukkan,
“Duhai hamba Allah, duhai umatku … kau salah jalan. Ayo balik arah dan ikuti lagi tanda panah itu…”
Kudapati itu lewat firman Allah yang terwariskan olehmu, lewat sunnahmu yang dengan indah terukir dalam kitab-kitab perawi’mu, lewat sirahmu yang teruntai begitu menawan dari hati para pecintamu, lewat hatiku yang tergetar ketika mendengar lantunan shalawat cinta untukmu.

Ketika shalat, puasa, mengaji, dzikir, dan sekian amal ibadah lain membuatku merasa sudah utuh menjadi ahli takwa, wanita sholehah, bahkan pewaris surga. Maka kau dengan senyum manismu, memanggilku lantas menegurku,
““Kebesaran adalah pakaian-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. (Allah Ta'ala berfirman): Barang siapa menyaingi Aku pada keduanya pasti Aku azab ia."(1)

Ketika kumasuki gang terlarang bernama marah, kau memberi satu rahasia indah,
“Bukanlah orang yang kuat itu yang dapat membanting lawannya, tetapi yang disebut orang kuat adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya pada waktu marah.”(2)

Ketika rasa iri, dengki, hasad, dan kroni-kroninya membujukku untuk memasuki gang mereka, kau kembali menasehati dengan penuh cinta,
“Kamu sekalian satu sama lain. Janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya.”(3).

Ketika gang membantah orangtua berkali-kali menarikku paksa masuk kedalamnya. Membuat mereka kesal juga marah. Aku tersungkur oleh teguranmu. Menghiba memohon ampun.
“Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.”(4)

Seperti katamu ya Rasulullah. Salah satu gang yang banyak membuat wanita tergoda untuk memasukinya adalah keluh kesah. Maka ketika yang keseribu kalinya kata keluh keluar dari lisanku, kau kembali menegurku lewat hadis qudsi dariNya,
“Barang siapa yg tak ridha terhadap ketentuanKu dan tak sabar atas musibah dariKu maka carilah Tuhan selain Aku.”(5) Hatiku tertampar. Jiwaku terbakar. Ampuni hamba ya Rabbi…

Gang lainnya yang banyak membuat wanita tergoda adalah membicarakan aib orang lain, firman Allah kausampaikan dengan pelan. Namun mampu membuat hatiku bergetar ketakutan.
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”(6)
Aku beku. Menggigil ketakutan, membayangkan sudah berkilo-kilo bangkai manusia yang masuk kedalam jiwaku. Menjadi makanan bagi ruhku. Ya Rabbi…perkenankan Engkau membersihkannya kembali.

Semua teguran itu hanya sedikit dari apa yang telah kau berikan untukku setiap waktu. Pun ketika kau menghiburku atas amal diri yang amat pas-pasan
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”(7). Juga rasa rendah diri yang lama menetap dalam hati sebab fisik yang tak rupawan, kau membujukku pelan. Amat membahagiakan.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Ia melihat hati dan amal kalian.”(8)

Jangan pernah lelah ya Rasulullah. Jangan pernah sosokmu hilang dari hatiku. Karena itu adalah nafasku untuk terus mendekatkan diri pada Allah. Tanpamu, hanya kesesatan yang ada. Kau pelita, tentu. Kau penyelamat, pasti. Aku akan sekuat jiwa terus ikut dalam gelombang besar umatmu yang teramat mencintai dan merindukanmu. Meskipun posisiku kini ada dipinggiran gelombang itu, terhempas berkali-kali ke daratan, Lantas pelan merembes masuk kelautan berharap kembali ikut kedalam gelombang. Aku hanya setetes air, namun berharap mampu menjadi umatmu yang sedikit memberi kesejukan lewat satu tetes itu. Aku hanya setitik debu, namun berharap mampu membuat musuh Allah, yang pasti juga musuhmu, dan kuakui mantap sebagai musuhku, kelilipan matanya olehku. Meski kecil, asaku dapat berarti. Izinkanlah ya Rabbi…

Ya Rasulullah…lewat sirahmu. Kisah cintamu dengan para sahabat membuat hatiku menangis. Aku rindu. Aku iri oleh cinta luar biasa. Aku ingin hidup di zaman itu. Dapat mendengar merdu suaramu, menatap teduh wajahmu. Menjadi makmum dalam barisan shalatmu, di barisan terakhir pun kuimpikan itu. Mendengar untaian nasihat yang terlantun langsung dari lisanmu Membantu perjuangan menegakkan akidah meski hanya sekedar seteguk air yang dapat kuberikan pada para pejuang. Meminta nasihat pada para ummul mukminin yang mulia. Menyaksikan kesederhanaan hidup mereka. Mengenal lebih dekat para muslimah yang luar biasa. Ikut aktif dalam barisan perjuangan mereka.

Kubayangkan diriku berada tepat di belakang Asma binti Yazid ra yang menanyakan perihal amalan wanita yang dapat mengimbangi amalan laki-laki. Lantas ikut bertahlil dan bertakbir mendengar kabar gembira darimu,
“…Perlakuan baik salah seorang dari kalian kepada suaminya, usahanya mencari keridhaan suaminya, dan ketaatannya kepada suaminya, dapat menyamai pahala dari amal laki-laki yang engkau sebutkan tadi (shalat berjama’ah, mengantar jenazah, dan berjihad di medan perang)” (9).

Kubayangkan pula dengan mata kepalaku sendiri menyaksikan ketegaran Al-Khansa, ibunda para syuhada. Hatiku ikut tergetar saat mendengar kabar kematian keempat anak-anaknya, ia berkata
“segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan menjadikan anak-anakku sebagai syuhada”(10).

Ya Rasulullah…betapa indah kubayangkan itu. Lagi-lagi, kau menjawab inginku dengan kata-kata sejuk seumpama air dingin di tengah padang pasir. Kala itu kau pulang sambil menangis. Maka para sahabat bertanya kepadamu : ”Apa yang membuat anda menangis, wahai Rasulullah ?” engkau bersabda : ”Aku merindukan saudara-saudaraku seiman.” Mereka (para sahabat) berkata : ”Bukankah kami adalah saudaramu seiman wahai Rasulullah ?” engkau bersabda : ”Bukan, kalian adalah sahabat-sahabatku, adapun saudara-saudaraku seiman suatu kaum yang datang setelahku, mereka beriman kepadaku sedang mereka belum pernah melihatku.”(11)

Hatiku tercekat oleh rindu. Tak mampu kubendung airmata saat kumembaca kisah itu. Aku menangis tersedu-sedu. Tangis rindu tak terperi. Satu kisah yang membuatku mengubah mimpiku tentangmu. Aku tidak akan pernah bisa menjadi sahabatmu tapi amat sangat berharap menjadi saudaramu. Mungkinkah ya Rasulullah? Aku tahu, jawabannya ada pada diriku sendiri.

Untuk kesekian kali. Dadaku bergetar oleh panggilanmu. Bolehkah aku merasa yakin bahwa itu juga ditujukan padaku. Saat di detik-detik terkahir kau berada di dunia. Dengan nada khawatir kau memanggil, Umatku…umatku…umatku…”
Malaikat Jibril pun bertanya kepada Nabi SAW : ”Wahai kekasih Allah, apa sebenarnya yang ingin anda tanyakan?” Rasulullah SAW menjawab : ”Tentang kegelisahanku, apakah yang akan diperoleh orang-orang (umatku) yang membaca Al-Qur’an sesudahku? Apakah yang akan diperoleh orang-orang (umatku) yang berpuasa pada bulan mereka (Ramadhan) sesudahku? Apakah yang akan diperoleh orang-orang (umatku) yang berziarah ke Baitul Haram sesudahku?”(12). Betapa khawatirmu terhadap umatmu melebihi khawatir terhadap dirimu sendiri.

Ya Rasulullah. Duhai kekasih Allah. Aku disini. Meski masih saja terus merangkak. Sedang berusaha dapat berdiri agar mampu berlari. Menjawab panggilanmu. Demi cintaku pada Allah, pada dirimu….akan terus kulalui lintasan sunnahmu. Menuju ridhoNya. Meski nanti jika kesekian kali aku berbelok lagi. Aku yakin kau akan ada disana. Menegurku, dengan penuh cinta…
“Duhai ummatku, kau salah jalan, ayo balik arah dan ikuti lagi tanda panah itu.”
Aku yakin itu. Sangat yakin.

Dengan penuh cinta dan rindu yang membanjiri hati
Fadila hanum
Setitik debu dari semesta umatmu


Footnote:
(1) HR Muslim
(2) HR Bukhari dan Muslim
(3) HR Muslim
(4) HR Tirmidzi
(5) Hadis qudsi
(6) QS. Al-Hujurat:12
(7) HR Muslim
(8) HR Muslim
(9) Al-istii’aab karya Ibnu ‘Abdil Barr IV/223
(10) Al-Ishaabah VIII/66-67
(11) HR Muslim
(12) HR Bukhari

No comments: