Friday 26 February 2010

freedom writers dan gokusen --review--

2 film made in 2 negara berbeda (amerika dan jepang) ini punya cerita yang rada2 mirip. tentang perjuangan seorang guru. Tapi jelas beda! Dua2nya amazing! benar2 menginspirasi. judulnya the freedom writters dan gokusen. bagus banget^_^!!!!. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menunaikan janji untuk seseorang yang namanya tidak bisa disebut,hehe—belajar me’review’ film—maaf masih dalam tahap pemula sist.

freedom writers

Film ini diangkat dari kisah nyata murid-murid di kelas 203, yang semula terbagi oleh ras menjadi satu kesatuan yang very solid!. Berusaha membuat perbedaan di dunia. Diangkat dari novel berjudul sama yang merupakan kompilasi dari buku harian murid-murid tersebut.

Erin Gruwell memasuki masa pengajaran tahun pertamanya di sebuah SMU. Saat itu daerah Long Beach baru saja pulih dari masalah rasial yang sangat-sangat buruk. Banyak sekali gesekan-gesekan antara kulit putih, hitam, maupun latino. Bukan hal jarang kalau kubu orang-orang Kamboja saling tembak menembak misalnya dengan para gang kulit hitam, atau gang orang-orang latin. Negara berusaha mengatasi hal ini dengan menyatukan sekolah-sekolah yang ada. Berusaha supaya mereka dapat bersosialisasi. Dampaknya bukan dampak positif. Bukannya mereka saling bersatu dan berteman, mereka malah makin buruk hubungannya satu sama lain. Masalah-masalah yang timbul di kelas dan sekolah akan dibawa ke luar sekolah. Sekolah tidak lain tidak bukan hanya sebagai tempat perhentian sementara mereka sebelum mereka kembali ke zona perang di luar sekolah.

Erin Gruwell tidak pernah mengerti mengenai anak-anak ini. Bagaimanapun juga ia adalah seorang guru baru dan ia sama sekali tidak punya gambaran kalau kelas yang nantinya akan ia ajar berisi anak-anak brengsek yang sama sekali tidak mempedulikan dirinya. Perlahan-lahan Erin mengajak mereka membaca buku mengenai Anne Frank, diary dari seorang anak kecil yang menjadi saksi mata langsung keganasan NAZI pada masa perang dunia kedua dahulu. Erin juga meminta mereka untuk mengutarakan isi hati mereka dalam sebuah diary, seperti yang dilakukan oleh Anne Frank dahulu. (metode yang sangat keren menurut saya^^). Dari sana, Erin mulai mengerti mengenai apa sebenarnya isi dunia mereka, dan anak-anak tersebut pun mulai mengerti bahwa Erin berbeda dengan guru-guru lainnya. Apabila guru-guru lainnya mengira mereka hanyalah sampah semata, Erin bisa mengerti bahwa mereka layak untuk diperjuangkan, dan dia mau memperjuangkan mereka (inti yang saya ambil---begitulah seharusnya menjadi seorang guru--). Sedikit demi sedikit mereka pun mulai bisa saling mengerti, saling mengisi, dan membentuk satu keluarga.

Tentu saja Erin bukannya tanpa masalah menghadapi murid-murid ini. Masalah utama datang dari Margaret Campbell, sang kepala bagian yang menentangnya secara habis-habisan. Erin juga menghadapi masalah dari banyak guru-guru lainnya yang menganggap bahwa murid-muridnya tetap anak brengsek yang kalau dilepas akan kembali menjadi liar dan rusak. Hubungan erin dengan sang suami juga mulai menjadi renggang karena sang suami menganggap bahwa Erin terlalu banyak mencurahkan waktunya kepada anak-anak ini.

Hilary Swank bermain luar biasa, dan begitu juga tiap muridnya, semua menghidupkan peranan mereka masing-masing. Imelda Staunton juga bermain watak dengan baik berhadapan dengan Swank, sebagai Margaret Campbell ia tampil sangat menyebalkan - tetapi tidak pernah sampai terasa seperti antagonis, karena pada kenyataannya kita semua memang lebih condong memiliki sifat seorang Margaret Campbell ketimbang sifat seorang Erin Gruwell.

Film yang diambil dari kisah nyata ini, sangat menyentuh dan membuat saya nangis bombay. Awalnya memang agak membosankan, tapi semua terbayar di akhir (seperti film Hollywood yang happy ending dan penuh pesan moral pada umumnya meski ada ‘negatif’nya). Adegan yang paling menyentuh bagi saya adalah adegan ketika mereka mengunjungi Museum of Tolerance. Satu lagi! Saya suka lagu-lagu dalam film ini yang maknanya sangat kena dengan isi film ini sendiri.

Saya sangat menyukai film ini. Menurut saya ini adalah inspirational movie yang sangat kena. Transformasi murid-murid kelas 203 ini tidak terjadi instan semalam tetapi tahap demi tahap. Mereka yang pada awalnya adalah murid-murid brengsek mulai belajar mengenai kehidupan di luar sana, dan menyadari bahwa masih ada begitu banyak orang yang kurang beruntung ketimbang mereka. Emosi film ini menjadi nilai tambah. Pesannya yang kuat membuat saya percaya seorang guru bisa membuat perubahan. Dan ujung-ujungnya saya pengin jadi guru lagi---lebih pingin---(huhuhuhu.....hiks....*_*....T_T).

Gokusen

Beberapa orang membandingkan Freedom Writers dengan Gokusen, lantas mengatakan kalau Freedom Writers adalah Gokusen-nya Hollywood. Tapi saya disini tidak ingin membandingkan, karena kedua-duanya memiliki kelebihan juga kekurangan, keunikan masing2.

Film gokusen diangkat dari serial manga. Bersambung memang, tapi dengan cerita berbeda. Sejauh ini saya sudah menonton ketiga filmnya. Yang paling menarik buat saya adalah gokusen 1 (mungkin karena ini yang perdana, jadi walaupun yg ke 2 dan 3 juga bagus, terlihat monoton karena masalah yang diangkat akhirnya bisa ditebak), well...secara global, film ini bermanfaat dan keren loh!! Sebab...telah membuat saya kembali ingin...jadi guru....T_T

Kumiko Yamaguchi benar-benar senang begitu diterima mengajar. Itu berarti cita-cita seumur hidupnya untuk menjadi seorang guru telah tercapai. Harapannya hanya satu yakni membawa murid-muridnya berjuang, belajar, dan bisa lulus bersama dengannya. Tetapi tugas pertamanya jelas tidak gampang. Kumiko diminta untuk menangani kelas 3D yang begitu bandel anak-anaknya. Mereka sering terlibat perkelahian di sana-sini dan juga bodoh. Karena bisa dibilang kelas 3D ini hanya dianggap sebagai kelas buangan semata. Lagipula hati mereka semua keburu tertutup karena merasa bahwa para guru sudah lebih dahulu negative thinking terhadap mereka.

Kumiko yang awalnya dianggap culun juga habis-habisan dijahili oleh mereka, toh kendati begitu ketika mereka mengalami kesulitan Kumiko mengejutkan mereka dengan memiliki kemampuan bela diri yang luar biasa untuk menolong mereka. Ternyata Kumiko sebenarnya adalah seorang cucu Yakuza yang sudah dididik untuk membela diri dari kecil. Di balik tampang berkacamatanya yang culun, ternyata Kumiko adalah seorang wanita yang kuat dan bisa membela dirinya. Melihat Kumiko yang selalu mempercayai mereka, perlahan-lahan anggota dari kelas 3D pun mulai membuka hati mereka kepada Kumiko dan bahkan menjulukinya Yankumi (saya tertawa lepas saat adegan ini...”yamaguchi kumiko...disingkat yankumi”, ga sadar....weleh2 num).

Satu murid yang mencuri perhatian dari Yankumi sekaligus memiliki hubungan yang jauh lebih dalam dengannya (lebih dekat, bukan hubungan guru-murid yang ’tidak-tidak’ loh) adalah Sawada Shin. Kenapa? Karena Sawada Shin sebenarnya adalah seorang murid yang pintar dan tidak seharusnya tergabung dalam kelas 3D yang rata-rata bodoh, satu-satunya alasan Sawada Shin berada di kelas ini adalah karena ia sudah kehilangan kepercayaan pada orang dewasa. Nah, bagaimanakah Yankumi nantinya mengatasi masalah dari setiap murid-murid di kelas 3D ini? Yang jelas semuanya tampil secara seru, lucu, unik, dan mengharukan!!, saya sangat kagum dengan sosok yankumi yang begitu optimis dan pantang menyerah! Luar biasa!

Serial ini sekali lagi menekankan kepada saya betapa pentingnya rasa percaya dari seorang murid terhadap gurunya. Apabila seorang murid bisa membuka hati terhadap gurunya, niscaya lebih mudahlah gurunya untuk memahami dirinya sekaligus kesulitannya dalam hal pelajaran. Seorang guru yang baik tidak hanya terbatas di sekolah membuat nilai muridnya menjadi sempurna saja, tetapi juga bagaimana membuat seorang muridnya menjadi satu sosok yang berharga di tengah masyarakat. Minimal berharga bagi dirinya sendiri.

Yankumi mungkin tidak memiliki fisik menawan untuk menarik perhatian para murid. Tetapi ia memiliki apa yang seorang guru perlukan. Ia memiliki kemampuan untuk menyentuh hati murid-muridnya dengan kasihnya. Ia memiliki kemampuan mengerti apa yang murid-muridnya perlukan, dan membuka hati murid-murid itu kepadanya. Mungkin memang serial Gokusen ini secara keseluruhan masih kalah dengan GTO ataupun Dragon Zakura (karena Gokusen terlalu banyak menekankan mengenai hal-hal di luar bidang akademis - satu kekurangan karena kita jadi tidak bisa melihat peningkatan anak-anak 3D dalam hal akademis-) tetapi secara keseluruhan ia masih berhasil memberikan nilai moral yang mendalam usai kita tonton (dan jangan lupa kita bisa jadi sakit perut karena ketololan ulah Yankumi dan kelas 3Dnya!). fight to....oh!!!!!

Terakhir, karena kesuksesan serial ini maka dibuatlah Gokusen 2 dan 3. Sayangnya sekuel-sekuelnya ini dianggap mengecewakan banyak pihak karena menghadirkan konflik-konflik yang mirip dengan prekuelnya (bahkan ironisnya sampai karakter-karakternya sekalipun mirip). Tetapi bagi mereka yang sudah terlanjur suka dengan Gokusen dan masih rindu dengan sosok Yankumi, bolehlah memuaskan rasa kangen itu dengan menonton sekuel-sekuelnya.


--review by anum--

Wednesday 10 February 2010

Derita = tidak pernah

Pada sunyi aku bicara
Tentang pedih yang kian menerpa
Tahu apa?
Jika kemudian tawa membahana
Aku muak pada dunia!
Izinkan aku keluarkan ingin
Tentang janjiMu…
Ketika Kau bertanya
“wahai hamba…pernahkah kamu merasakan penderitaan dalam hidupmu?”
Akan kujawab…
“tidak ya Rabb…tidak pernah sekalipun.”